ASUHAN KEPERAWATAN ANASTESI PERIOPERATIF
BPH PRO TURP PADA TN T DENGAN REGIONAL ANESTESI
DI IBS RSUD SARAS HUSADAPURWOREJO
Disusun Dalam Ranagka Praktek klinik Perioperatif II prodi D-IV Keperawatan Anestesi
Di susun oleh :
YANUAR SISWANTO
NIM : PO7120209056
DEPARTEMEN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA
POLITEKNEK KESEHATAN YOGYAKARTA
JURUSAN KEPERAWATAN PROGRAM D-IV ANESTESI REANIMASI
TAHUN 2009/2010
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Benigna Prostat Hiperplasi
1. Pengertian
Benigna Prostat Hiperplasi ( BPH ) adalah pembesaran jinak kelenjar prostat, disebabkan oleh karena hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat meliputi jaringan kelenjar / jaringan fibromuskuler yang menyebabkan penyumbatan uretra pars prostatika ( Lab / UPF Ilmu Bedah RSUD dr. Sutomo, 1994 : 193 ).
Pendapat lain mengatakan bahwa BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat ( secara umum pada pria lebih tua dari 50 tahun ) menyebabkan berbagai derajat obstruksi uretral dan pembatasan aliran urinarius ( Marilynn, E.D, 2000 : 671 ).
Dari kedua pengertian tersebut maka penulis menyimpulkan bahwa BPH adalah pembesaran progresif dari kelenjar prostat, bersifat jinak disebabkan oleh hiperplasi beberapa atau semua komponen prostat yang mengakibatkan penyumbatan prostatika dan umumnya terjadi pada pria dewasa lebih dari 50 tahun.
Reseksi Transuretra pada Prostat ( TURP ) adalah pengangkatan sebagian atau seluruh kelenjar prostat melalui sistoskop atau resektoskop yang dimasukkan melalui uretra (Susan, M.T, 1998: 607).
Sedangkan tokoh lain mengatakan bahwa TURP adalah prostat obstruksi dari lobus medial sekitar uretra diangkat dengan sistoskop atau resektoskop dimasukkan melalui uretra ( Marilynn, E.D, 2000 : 679 ).
Maka pengertian TURP menurut kesimpulan penulis adalah pengangkatan sebagian atau seluruh kelenjar prostat yang telah menyebabkan obstruksi uretra dengan sistoskop atau resektoskop yang dimasukkan melalui uretra.
2. Faktor - faktor yang mempengaruhi
a. Anatomi fisiologi
Kelenjar prostat terletak tepat dibawah buli – buli dan mengitari uretra. Bagian bawah kelenjar prostat menempal pada diafragma urogenital atau sering disebut otot dasar panggul. Kelenjar ini pada laki - laki dewasa kurang lebih sebesar buah kemiri, dengan panjang sekitar 3 cm, lebar 4 cm dan tebal kurang lebih 2,5 cm. Beratnya sekitar 20 gram. Prostat terdiri dari jaringan kelenjar, jaringan stroma (penyangga) dan kapsul. Cairan yang dihasilkan kelenjar prostat bersama cairan dari vesikula seminalis dan kelenjar cowper merupakan komponen terbesar dari seluruh cairan semen. Bahan – bahan yang terdapat dalam cairan semen sangat penting dalam menunjang fertilitas, memberikan lingkungan yang nyaman dan nutrisi bagi spermatozoa serta proteksi terhadap invasi mikroba.Kelainan pada prostat yang dapat mengganggu proses reproduksi adalah keradangan ( prostatitis ). Kelainan yang lain seperti pertumbuhan yang abnormal ( tumor ) baik jinak maupun ganas tidak memegang peranan penting pada proses reproduksi tetapi lebih berperan pada terjadinya gangguan aliran urin. Kelainan yang disebut belakangan ini manifestasinya biasanya pada laki - laki usia lanjut.
Gambar 2.1 Anatomi Prostat
Gambar 2.2 TUR-P
b. Patofisiologi
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra prostatika dan akan menghambat aliran urin. Keadaan ini dapat meningkatkan tekanan intravesikal. Sebagai kompensasi terhadap tahanan uretra prostatika, maka otot detrusor dari buli - buli berkontraksi lebih kuat untuk dapat memompa urin keluar. Kontraksi yang terus - menerus menyebabkan perubahan anatomi dari buli - buli berupa :
hipertropi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula dan difertikel buli - buli. Perubahan struktur pada buli - buli dirasakan klien sebagai keluhan pada saluran kemih bagian bawah atau Lower Urinary Tract Symptom / LUTS (Basuki, 2000 : 76). Puncak dari kegagalan kompensasi adalah ketidakmampuan otot detrusor memompa urine dan terjadi retensi urine. Retensi urin yang kronis dapat mengakibatkan kemunduran fungsi ginjal ( Sunaryo, H, 1999 : 11 ).
c. Etiologi
Penyebab yang pasti dari terjadinya BPH sampai sekarang belum diketahui. Namun yang pasti kelenjar prostat sangat tergantung pada hormon androgen. Faktor lain yang erat kaitannya dengan BPH adalah proses penuaan
Karena etiologi yang belum jelas maka melahirkan beberapa hipotesa yang diduga timbulnya hiperplasi prostat antara lain :
1). Dihydrotestosteron
Peningkatan 5 alfa reduktase dan reseptor androgen menyebabkan epitel dan stroma dari kelenjar prostat mengalami hiperplasi .
2). Perubahan keseimbangan hormon estrogen - testoteron
Pada proses penuaan pada pria terjadi peningkatan hormon estrogen dan penurunan testosteron yang mengakibatkan hiperplasi stroma.
3). Interaksi stroma - epitel
Peningkatan epidermal gorwth factor atau fibroblast growth factor dan penurunan transforming growth factor beta menyebabkan hiperplasi stroma dan epitel.
4). Berkurangnya sel yang mati
Estrogen yang meningkat menyebabkan peningkatan lama hidup stroma dan epitel dari kelenjar prostat.
5). Teori sel stem
Sel stem yang meningkat mengakibatkan proliferasi sel transit ( Roger Kirby, 1994 : 38 ).
d. Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis BPH dilakukan beberapa cara antara lain :
1). Anamnesa
Kumpulan gejala pada BPH dikenal dengan LUTS (Lower Urinary Tract Symptoms) antara lain: hesitansi, pancaran urin lemah, intermittensi, terminal dribbling, terasa ada sisa setelah miksi disebut gejala obstruksi dan gejala iritatif
berupa urgensi, frekuensi serta disuria. IPSS (International Prostate Symptoms Score) adalah kumpulan pertanyaan yang merupakan pedoman untuk mengevaluasi beratnya LUTS. Keadaan klien BPH dapat ditentukan berdasarkan skor yang diperoleh :
a). Skor 0 - 7 = gejala ringan.
b). Skor 8 - 19 = gejala sedang.
c). Skor 20 – 35 = gejala berat.
2). Pemeriksaan Fisik
Dilakukan dengan pemeriksaan tekanan darah, nadi dan suhu. Nadi dapat meningkat pada keadaan kesakitan pada retensi urin akut, dehidrasi sampai syok pada retensi urin serta urosepsis sampai syok - septik. Pemeriksaan abdomen dilakukan dengan tehnik bimanual untuk mengetahui adanya hidronefrosis, dan pyelonefrosis. Pada daerah supra simfiser pada keadaan retensi akan menonjol. Saat palpasi terasa adanya ballotemen dan klien akan terasa ingin miksi. Perkusi dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya residual urin. Penis dan uretra juga diperiksa untuk mendeteksi kemungkinan stenose meatus, striktur uretra, batu uretra, karsinoma maupun fimosis. Pemeriksaan skrotum untuk menentukan adanya epididimitis. Rectal touch / pemeriksaan colok dubur bertujuan untuk menentukan konsistensi sistim persarafan unit vesiko uretra dan besarnya prostat. Dengan rectal toucher dapat diketahui derajat dari BPH, yaitu :
a). Derajat I = beratnya ± 20 gram.
b). Derajat II = beratnya antara 20 – 40 gram.
c). Derajat III = beratnya > 40 gram.
3). Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan darah lengkap, faal ginjal, serum elektrolit dan kadar gula digunakan untuk memperoleh data dasar keadaan umum klien. Pemeriksaan urin lengkap dan kulturnya juga diperlukan. PSA (Prostatik Spesific Antigen) penting diperiksa sebagai kewaspadaan adanya keganasan.
4). Pemeriksaan Uroflowmetri
Salah satu gejala dari BPH adalah melemahnya pancaran urin. Secara obyektif pancaran urin dapat diperiksa dengan uroflowmeter dengan penilaian :
a). Flow rate maksimal > 15 ml / dtk = non obstruktif.
b). Flow rate maksimal 10 – 15 ml / dtk = border line.
c). Flow rate maksimal < 10 ml / dtk = obstruktif.
5). Pemeriksaan Imaging dan Rontgenologik
a). BOF (Buik Overzich
Untuk melihat adanya batu dan metastase pada tulang.
b). USG (Ultrasonografi)
Digunakan untuk memeriksa konsistensi, volume dan besar prostat juga keadaan buli – buli termasuk residual urin. Pemeriksaan dapat dilakukan secara transrektal, transuretral dan supra pubik.
c). IVP (Pyelografi Intravena)
Digunakan untuk melihat fungsi exkresi ginjal dan adanya hidronefrosis. Dengan IVP, buli – buli dilihat sebelum, sementara dan sesudah isinya dikosongkan. Sebelum, untuk melihat adanya intravesikal tumor dan divertikel. Sementara (voiding cystografi), untuk melihat adanya reflux urin. Sesudah (post evacuation), untuk melihat residual urin.
6). Pemeriksaan Panendoskop
Untuk mengetahui keadaan uretra dan buli – buli (Sunaryo, H, 1999 : 11-21).
e. Penatalaksanaan
Modalitas terapi BPH adalah :
1). Watchful (observasi)
Yaitu pengawasan berkala pada klien setiap 3 – 6 bulan kemudian setiap tahun tergantung keadaan klien
2). Medikamentosa
Terapi ini diindikasikan pada BPH dengan keluhan ringan, sedang, dan berat tanpa disertai penyulit serta indikasi terapi pembedahan tetapi masih terdapat kontraindikasi atau belum “well motivated” Obat yang digunakan berasal dari: phitoterapi (misalnya: Hipoxis rosperi, Serenoa repens, dll), gelombang alfa blocker dan golongan supresor androgen.
3). Pembedahan
Indikasi pembedahan pada BPH adalah :
a). Klien yang mengalami retensi urin akut atau pernah retensi urin akut.
b). Klien dengan residual urin > 100 ml.
c). Klien dengan penyulit.
d). Terapi medikamentosa tidak berhasil.
e). Flowmetri menunjukkan pola obstruktif.
Pembedahan dapat dilakukan dengan :
a). Pembedahan biasa / open prostatektomi.
b). TURP.
TURP dilakukan dengan memakai alat yang disebut resektoskop dengan suatu lengkung diathermi. Jaringan kelenjar prostat diiris selapis demi selapis dan
dikeluarkan melalui selubung resektoskop. Perdarahan dirawat dengan memakai diathermi, biasanya
dilakukan dalam waktu 30 sampai 120 menit, tergantung besarnya prostat. Selama operasi dipakai irigan akuades atau cairan isotonik tanpa elektrolit. Prosedur ini dilakukan dengan anastesi regional ( Blok Subarakhnoidal / SAB / Peridural ). Setelah itu dipasang kateter nomer Ch. 24 untuk beberapa hari. Sering dipakai kateter bercabang tiga atau satu saluran untuk spoel yang mencegah terjadinya pembuntuan oleh pembekuan darah. Balon dikembangkan dengan mengisi cairan garam fisiologis atau akuades sebanyak 30 – 50 ml yang digunakan sebagai tamponade daerah prostat dengan cara traksi selama 6 – 24 jam.Traksi dapat dikerjakan dengan merekatkan ke paha klien atau dengan memberi beban (0,5 kg) pada kateter tersebut melalui katrol. Traksi tidak boleh lebih dari 24 jam karena dapat menimbulkan penekanan pada uretra bagian penoskrotal sehingga mengakibatkan stenosis buli – buli karena ischemi. Setelah traksi dilonggarkan fiksasi dipindahkan pada paha bagian proximal atau abdomen bawah. Antibiotika profilaksis dilanjutkan beberapa jam atau
24 – 48 jam pasca bedah. Setelah urin yang keluar jernih kateter dapat dilepas .Kateter biasanya dilepas pada hari ke 3 – 5. Untuk pelepasan kateter, diberikan antibiotika 1 jam sebelumnya untuk mencegah urosepsis. Biasanya klien boleh pulang setelah miksi baik, satu atau dua hari setelah kateter dilepas (Doddy, M.S, 2000 : 6 ).
4). Alternatif lain (misalnya: TUIP, TUBD, Kriyoterapi, Hipertermia, Termoterapi, TUNA, Terapi Ultrasonik dan TULIP.
3. Dampak Masalah
Setiap perubahan yang terjadi selalu menimbulkan dampak. Begitu juga dengan individu yang telah dilakukan tindakan TURP akan mengalami perubahan baik yang mempengaruhi individu, keluarga maupun masyarakat.
a. Dampak bagi individu
Dampak yang sering muncul pada klien pasca TURP antara lain :
1). Pola persepsi dan tata laksana hidup sehat
Timbulnya perubahan pemeliharaan kesehatan karena tirah baring selama 24 jam pasca TURP. Adanya keluhan nyeri karena spasme buli - buli memerlukan
penggunaan antispasmodik sesuai terapi dokter ( Marilynn, E.D, 2000 : 683).
2). Pola nutrisi dan metabolisme
Klien yang dilakukan anasthesi SAB tidak boleh makan dan minum sebelum flatus.
3). Pola eliminasi
Pada klien dapat terjadi hematuri setelah tindakan TURP. Retensi urine dapat terjadi bila terdapat bekuan darah pada kateter. Sedangkan inkontinensia dapat tejadi setelah kateter dilepas ( Sunaryo, H, 1999: 235 ).
4). Pola aktivitas dan latihan
Adanya keterbatasan aktivitas karena kondisi klien yang lemah dan terpasang traksi kateter selama 6 – 24 jam. Pada paha yang dilakukan perekatan kateter tidak boleh fleksi selama traksi masih diperlukan.
5). Pola tidur dan istirahat
Rasa nyeri dan perubahan situasi karena hospitalisasi dapat mempengaruhi pola tidur dan istirahat.
6). Pola kognitif perseptual
Sistem Penglihatan, Pendengaran, Pengecap, peraba dan Penghidu tidak mengalami gangguan pasca TURP.
7). Pola persepsi dan konsep diri
Klien dapat mengalami cemas karena kurang pengetahuan tentang perawatan serta komplikasi BPH pasca TURP.
8). Pola hubungan dan peran
Karena klien harus menjalani perawatan di rumah sakit, maka dapat mempengaruhi hubungan dan peran klien baik dalam keluarga, tempat kerja, dan masyarakat.
9). Pola reproduksi seksual
Tindakan TURP dapat menyebabkan impotensi dan ejakulasi retrograd ( Sunaryo, H, 1999 : 36 ).
10). Pola penanggulangan stres
Cemas dapat dialami klien karena kurang pengetahuan tentang perawatan dan komplikasi pasca TURP. Gali adanya stres pada klien dan mekanisme koping klien terhadap stres tersebut.
11). Pola tata nilai dan kepercayaan
Adanya traksi kateter memerlukan adaptasi klien dalam menjalankan ibadahnya.
b. Dampak bagi keluarga
Dengan adanya salah satu anggota keluarga yang dirawat di rumah sakit apalagi sampai tindakan operasi akan menimbulkan beban keluarga dalam pembiayaan, terutama bila yang sakit adalah kepala keluarga, karena akan mempengaruhi sumber pendapatan keluarga. Dalam keluarga dapat timbul rasa cemas atau faktor psikologis lain serta terjadi perubahan peran baik dalam pengambilan keputusan, mencari nafkah maupun pelindung keluarga.
c. Dampak bagi masyarakat
Masyarakat disekitarnya mungkin merasa kehilangan karena klien mengurangi interaksi sosial dengan masyarakat dimana klien bertempat tinggal karena harus beradaptasi dengan lingkungan baru. Apalagi kalau klien adalah orang yang berkedudukan atau berpengaruh dalam lingkungannya.
B. ANESTESI SPINAL
Anestesi spinal (subaraknoid) adalah anestesi regional dengan tindakan penyuntikan obat anestetik lokal ke dalam ruang subaraknoid. Anestesi spinal/ subaraknoid juga disebut sebagai analgesi/blok spinal intradural atau blok intratekal.
Hal –hal yang mempengaruhi anestesi spinal ialah jenis obat,dosis obat yang digunakan, efek vasokonstriksi, berat jenis obat, posisi tubuh, tekanan intraabdomen, lengkung tulang belakang, operasi tulang belakang, usia pasien, obesitas, kehamilan, dan penyebaran obat.
Pada penyuntikan intratekal, yang dipengaruhi dahulu ialah saraf simpatis dan parasimpatis, diikuti dengan saraf untuk rasa dingin, panas, raba, dan tekan dalam. Yang mengalami blokade terakhir yaitu serabut motoris, rasa getar (vibratory sense) dan proprioseptif. Blokade simpatis ditandai dengan adanya kenaikan suhu kulit tungkai bawah. Setelah anestesi selesai, pemulihan terjadi dengan urutan sebaliknya, yaitu fungsi motoris yang pertama kali akan pulih.
Di dalam cairan serebrospinal, hidrolisis anestetik lokal berlangsung lambat. Sebagian besar anestetik lokal meninggalkan ruang subaraknoid melalui aliran darah vena sedangkan sebagian kecil melalui aliran getah bening. Lamanya anestesi tergantung dari kecepatan obat meninggalkan cairan serebrospinal.
Tabel Dosis dan Durasi Obat Anestetik Spinal
Obat | Dosis (mg) | Durasi (menit) | |||
Perineum, tungkai bawah | Abdomen bawah | Blok setinggi T4 | Anestetik murni | Ditambah epinefrin | |
Prokain | 75 | 125 | 200 | 45 | 60 |
Tetrakain | 6-8 | 8-14 | 14-20 | 90 | 120-150 |
Lidokain | 25 | 50-75 | 75-100 | 60 | 60-90 |
Bupivakain | 4-6 | 8-12 | 12-20 | 120-150 | 120-150 |
1. Indikasi
Anestesi spinal dapat diberikan pada tindakan yang melibatkan tungkai bawah, panggul, dan perineum. Anestesi ini juga digunakan pada keadaan khusus seperti bedah endoskopi, urologi, bedah rectum, perbaikan fraktur tulang panggul, bedah obstetric, dan bedah anak. Anestesi spinal pada bayi dan anak kecil dilakukan setelah bayi ditidurkan dengan anestesi umum.
2. Kontraindikasi
Kontraindikasi mutlak meliputi infeksi kulit pada tempat dilakukan pungsi lumbal, bakteremia, hipovolemia berat (syok), koagulopati, dan peningkatan tekanan intracranial. Kontraindikasi relatf meliputi neuropati, prior spine surgery, nyeri punggung, penggunaan obat-obatan preoperasi golongan AINS, heparin subkutan dosis rendah, dan pasien yang tidak stabil, serta a resistant surgeon.
3. Persiapan Pasien
Pasien sebelumnya diberi informasi tentang tindakan ini (informed concernt) meliputi pentingnya tindakan ini dan komplikasi yang mungkin terjadi.
Pemeriksaan fisik dilakukan meliputi daerah kulit tempat penyuntikan untuk menyingkirkan adanya kontraindikasi seperti infeksi. Perhatikan juga adanya scoliosis atau kifosis. Pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan adalah penilaian hematokrit. Masa protrombin (PT) dan masa tromboplastin parsial (PTT) dilakukan bila diduga terdapat gangguan pembekuan darah.
4. Perlengkapan
Tindakan anestesi spinal harus diberikan dengan persiapan perlengkapan operasi yang lengkap untuk monitor pasien, pemberian anestesi umum, dan tindakan resusitasi.
Jarum spinal dan obat anestetik spinal disiapkan. Jarum spinal memiliki permukaan yang rata dengan stilet di dalam lumennya dan ukuran 16G sampai dengan 30G. obat anestetik lokal yang digunakan adalah prokain, tetrakain, lidokain, atau bupivakain. Berat jenis obat anestetik lokal mempengaruhi aliran obat dan perluasan daerah teranestesi. Pada anestesi spinal jika berat jenis obat lebih besar dari berat jenis CSS (hiperbarik), maka akan terjadi perpindahan obat ke dasar akibat gravitasi. Jika lebih kecil (hipobarik), obat akan berpindah dari area penyuntikan ke atas. Bila sama (isobarik), obat akan berada di tingkat yang sama di tempat penyuntikan. Pada suhu 37oC cairan serebrospinal memiliki berat jenis 1,003-1,008.
Perlengkapan lain berupa kain kasa steril, povidon iodine, alcohol, dan duk steril juga harus disiapkan.
Jarum spinal. Dikenal 2 macam jarum spinal, yaitu jenis yang ujungnya runcing seperti ujung bamboo runcing (Quincke-Babcock atau Greene) dan jenis yang ujungnya seperti ujung pensil (whitacre). Ujung pensil banyak digunakan karena jarang menyebabkan nyeri kepala pasca penyuntikan spinal.
| |||
| |||
5. Teknik Anestesi Spinal
5 Berikut langkah-langkah dalam melakukan anestesi spinal, antara lain:
a) Posisi pasien duduk atau dekubitus lateral. Posisi duduk merupakan posisi termudah untuk tindakan punksi lumbal. Pasien duduk di tepi meja operasi dengan kaki pada kursi, bersandar ke depan dengan tangan menyilang di depan. Pada posisi dekubitus lateral pasien tidur berbaring dengan salah satu sisi tubuh berada di meja operasi.
b) Posisi permukaan jarum spinal ditentukan kembali, yaitu di daerah antara vertebrata lumbalis (interlumbal).
c) Lakukan tindakan asepsis dan antisepsis kulit daerah punggung pasien.
d) Lakukan penyuntikan jarum spinal di tempat penusukan pada bidang medial dengan sudut 10o-30o terhadap bidang horizontal ke arah cranial. Jarum lumbal akan menembus ligamentum supraspinosum, ligamentum interspinosum, ligamentum flavum, lapisan duramater, dan lapisan subaraknoid.
e) Cabut stilet lalu cairan serebrospinal akan menetes keluar.
f) Suntikkan obat anestetik local yang telah disiapkan ke dalam ruang subaraknoid. Kadang-kadang untuk memperlama kerja obat ditambahkan vasokonstriktor seperti adrenalin.
6 Komplikasi
Komplikasi yang mungkin terjadi adalah hipotensi, nyeri saat penyuntikan, nyeri punggung, sakit kepala, retensio urine, meningitis, cedera pembuluh darah dan saraf, serta anestesi spinal total.
A. Asuhan Keperawatan Pre Operatif Pada Tn. T dengan BPH Pro TURP
1. Pengkajian
1). Identitas pasien
Nama : Tn. T
Umur : 69 Tahun
Jenis kelamin : Laki – laki
Status perkawian : kawin
Suku / bangsa : Jawa / Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : Sarjana Muda
Alamat : Purworejo.
Pekerjaan : Wiraswasta
Diagnose Medis : BPH
No CM : 1776554
2). Idenitas Penanggung jawab
Nama : Ny A
Umur : 40 Tahun
Pekerjaan : Swasta
Hubungan dengan pasien ; Anak kandung
Alamat : Purworejo
a. Riwayat penyakit
· Riwayat penyakit sekarang
Pasien dating dengan keluhan 1 – 5 hr pasien mengeluh tidak bisa BAK,pasien sudah terpasang DC.
· Riwayat penyakit dulu
Klien tidak pernah dirawat di rumah sakit sebelumnya,tidak ada riwayat retensi urine.
b. Pola kebiasaan
· Pola kebiasaan sehari – hari
Sebelum sakit, sehari – hari pasien berjualan sayur keliling pakai sepeda, dan segala kebutuhan dilakukan sendiri.
· Pola mekanisme koping dan pemecahan masalahh
Dalam pemecahan masalah dan pengambilan keputusan pasien lebih banyak membicarakan kepada anak terua, dan adik kandungnya. Saat dilakukan pengkajian pasien tampak gelisah, pasien mengatakan takut operasinya gagal/tidak berhasil.
· Pola istirahat tidur
Sebelum sakit biasa tidur 6 – 8 jam sehari, selama dirumah sakit tidak mengalami masalah, hanya waktu mendekati operasi pasien sulit tidur karena gelisah dan khawatir.
· Pola eleminasi
BAK : pasien mengatakan sebelum maupun selama dirumah sakit tidak bisa BAK sendiri dan setelah di rumah sakit dipasang kateter
BAB : pasien mengatakan sebelum maupun selama dirumah sakit tidak mengalami masalah dalam BAB nya, sehari 1x setiap pagi.
· Pola nutrisi dan metabolisme
o Sebelum dirumah sakit
Makan : pasien mengatakan biasa makan sehari 3x porsi sedang, jenis makan nasi putih, sayur dan lauk pauk.
Minum : pasien biasa minum 6 – 7 gelas sehari, jenis air putih dan teh manis dan sesekali minum kopi.
o Selama dirumah sakit
Makan : Tidak mengalami perubahan tetap makan sehari 3x
Minum : Tidak mengalami perubahan, 6 – 7 gelas sehari, hanya air putih yang diperbanyak.
c. Pemeriksaan Fisik head to toe
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Composmetis
Status gizi : TB : 155 Cm, BB : 60 Kg,
Tanda – tanda vital : TD : 170 / 110 mmHg, Nadi : 86 x / menit, RR : 16 x / menit, Suhu : 36,5 oC
a) Kepala
· Rambut
Rambut pasien lurus, warna hitam campur putih (uban), kulit kepala bersih dan tidak ada ketombe, tapi pasien mengatakan kadang – kadang rambutnya rontok.
· Mata
Mata pasien simetris tidak mengalami gangguan penglihatan, konjungtiva tidak anemis, tidak menggunakan alat bantu penglihatan.
· Telinga
Bentuk daun telingan simetris, tidak menggunakan alat bantu pendengaran, memakai anting, tidak ada nyeri tekan pada procesus mostoideus serumen dalam batas normal.
· Hidung
Tidak terdapat devisiasi septum, cukup bersih, terdapat rambut hidung, lubang hidung sama besar, tidak terdapat polip.
· Mulut
Bibir dan mukosa mulut kering, tidak menggunakan gigi palsu tidak ada stomatitis, terdapat satu gigi yang berlubang dan sudah ditambal, gigi geraham atas dan bawah sudah tanggal, gigi depan atas dan bawah juga tanggal, buka mulut > 2cm kemudian maliampati score 1 ( ovula tampak jelas ).
b) Leher
Gerak leher bebas, tidak ada pembesaran kelenjar tiroid dan nodul limfe pada kedua sisi leher, tidak terdapat peningkatan vena jugularis pressure ( JVP ), jarak menthal hyoid > 6,5 cm.
c) Dada
Gerak dada simetris, tidak ada ketinggalan gerak antara yang sebelah kanan dan kiri, tidak ada benjoalan tulang costa saat pasien bernafas, tidak ada nyeri tekan, bentuk dada normal tidak ada kelainan.
d) Abdomen
Abdomen sufel, tidak terdapat acites, hepar tidak membesar, tidak ada distensi abdomen , tidak ada nyeri tekan.
e) Genetalia
Terdapat rambut pubis, tidak ada penyakit kulit, terpasang kateter nomor 16.
f) extreminitas
atas : turgor kulit elastic, tidak ada odema, tidak ada kelemahan dan simetris.
bawah : simetris tidak ada kelemahan dan tidak terdapat oedema.
d. Pemerikasaan Laboratorium
Pada tanggal 19 April 2010 di Laboratorium RSUD SARAS HUSADA, dengan hasil sebagai berikut :
Jenis Pemeriksaan | Hasil | Nilai Normal |
Leukkosit Erythrocyte Haemoglobin Cloting Time Bleeding Time Gula Darah Sewaktu Ureum Creatinin Protein Total SGOT SGPT Golongan Darah | 4.200/mm3 4,72 juta/mm3 12.6 gr% 4 menit 2 menit 120 mg% 32 mg% 0.9 mg% 8.35 mg% 16 mg% 3.59 mg% O | 4.000 – 10.000 mm3 4.5 – 5.5 juta/mm3 12 – 15 gr% 2 – 5 menit 1 – 2 menit 70 – 150 mg% 10 – 50 mg% 0.5 – 1.1 mg% 4.0 – 5.2 mg% 6 – 21 U/L 4 – 20 U/L |
e. Persiapan operasi
1. Pasien puasa sejak jam 24.00 dibangsal.
2. Mencocokkan identitas pasien (nama, nomor medical record).
3. Hasil pemeriksaan Laboratorium dan Radiologi.
4. Pastikan inform consent dengan baik, persetujuan operasi dan persetujuan anestesi lengkap.
5. Pasien dimasukan diruang terima dan dilakukan serah terima pasien dan alat habis pakai antara perwat bangsal dan perawat IBS.
6. Memeriksa dan menyatakan kembali apakah pasien masih memakai perhiasan atau gigi palsu.
7. Diruang terima baju pasien diganti dan memakai topi khusus.
8. Diruang persiapan pasien dipasang infus RL ditangan sebelah kiri, jarum No.18 G.
9. Cairan maentenan(M) 2 ml/kg BB/jam = 2 x 60 = 120 ml/j,pengganti puasa(P) = jml jam puasa x M = 8 jam x 120 = 960 ml/j, stress operasi (SO) = BB x 6 = 60 x 6 = 360 ml/j, diberikan pada jam I = M + 1/2P + SO = 120 + 480 + 360 = 960 ml/j dan jam II/III selanjutnya = M + 1/4P + SO = 120 + 240 + 360 = 720 ml.
10. Pasien dimasukan keruangan operasi dan dipindakan dari brankard kemeja operasi.
f. Analisa Data
No | Hari / Tanggal | Data | Masalah | Penyebab |
1 | Senin 20 mei 2009 | Ds: 1. Pasien mengatakan takut opersainya gagal/tidak berhasil. Do : 1. Pasien tampak bingung. 2. Pasien tampak gelisah. 3. Ekstreminitas terba dingin. 4. Tanda vital TD : 160 / 90 mmHg N : 84 x / menit RR: 16 x / menit | Cemas | Prosedur pembedahan yang akan dilakukan |
2 | DS : · Pasien mengatakan rasa haus. · Puasa 10 jam DO: · Mukosa mulut kering | Resiko kekurangan cairan dan elektrolit | Prosedur anestesi dan pembedahan (puasa) |
2. Diagnosa keperawatan
1. Cemas berhubungan dengan prosedur pembedahan dan anestesi yang akan dilakukan.
2. Resiko kekurangan cairan dan elekrolit sehubungan dengan prosedur pembedahan/anestesi yang akan dilakukan.
B. Asuhan Keperawatan Intra Operatif pada Tn.T dengan BPH Pro TURP
1. Pengkajian
Operasi dilakukan pada tanggal 20 mei 2010 di IBS RSUD, pasien dibawa ke ruang operasi dibaringkan dimeja operasi pada jam 10.30 WIB dengan posisi supinasi, kemudian pasien dirubah keposisi duduk untuk dilakukan anestesi spinal (Sub Arachnoid Block). Tanda – tanda vital : TD 170/110 mmHg, nadi 80 x/menit, RR 20 x/menit, suhu 36.5oC.
a. Persiapan Anestesi
Alat :
Jarum spinal No.25 1 buah
Jarum spinal No.26 1 buah
Sarung tangan steril 1 pasang
Spuit 3 cc 2 buah
Spuit 5 cc 2 buah
Spuit 10 cc 1 buah
Kom betadin 1 buah
Kain kasa lipat steril 5 buah
Intubasi set 1 set
Selang oksigen nasal 1 buah
Monitor pasien 1 set
Mesin anestesi
Obat :
Obat Bupivacain 1 ampul
Obat Vasopressure 1 ampul
- Ephedrine
Aqua for injection 2 fls
Cairan infus kiristaloid (RL) 5 fls
Cairan infus koloid (Fimanes) 2 fls
Obat Narfos 4 mg
Analgetik non narkotik (fentanil 100mg)
Obat emergensi (epedrin)
Obat anti kolinergik
- SA
Obat induksi
- Propofol 200 mg
- Fentanil 100 mg
Obat anti depresan
- midazolam
Gas anestesi (N2O, O2, Sevofluran)
b. Persiapan Pasien
1. Pasien ditidurkan dalam posisi supinasi dan selanjutnya dilakukan pemasangan monitor.
2. Posisi dirubah dari supinasi ke posisi duduk.
3. Af
c. Prosedur Anestesi Spinal
1. Atur posisi pasien dari supinasi keposisi duduk dengan tegak lurus kepala ditekuk dagu seolah – olah menyentuh dada.
2. Identifikasi space antara L – 4 dan L – 5 sejajar dengan SIAS, kemudian diberi tanda dengan menggunakan ujung kuku ibu jari.
3. Memakai sarung tangan yang seteril.
4. Asisten memberi spuit 5 cc dan jarum spinal yang seteril.
5. Ambil obat spinal anestesi dengan spuit 5 cc yang steril tadi
6. Disinfeksi wilayah yang akan dilakukan penusukan jarum spinal.
7. Tusukan jarum spinal antara space antara L –3 dan L – 4 sampai masuk kerongga spinal.
8. Setelah yakin masuk tarik mandrien sampai keluar cairan lumbal.
9. Masukan obat spinal dengan spuit 5 cc yang berisi obat spinal secara berlahan – lahan sambil diaspirasi kemudian masukan lagi obat spinal sampai dosis yang ditentukan.
10. Deper bekas penusukan dengan kain kasa yang seteril, kemudian pasien diposisikan seperti semula ( supinasi ).
11. Tentukan tinggi blok dengan cara menusuk dengan jarum kewilayah yang akan dilakukan operasi.
12. Monitor tanda vital
d. Evaluasi
1. Anestesi dimulai pukul 10.30 WIB, operasi mulai pukul 10.35 WIB sampai dengan pukul 12.00 WIB.
2. Operasi berjalan lancar
3. Tim opersi tetap menjaga kesterilan dan keamanan pasien
4. Selama operasi pasien tampak tenang
5. Selama operasi :
a. Tekanan darah dan nadi dimonitor tiap lima menit sekali :
- Lima menit I : 140/70 mmHg, Nadi 60 x/menit SpO2 100%
- Lima menit II : 140/80 mmHg, Nadi 69 x/menit SpO2 100%
- Lima menit III : 140/80 mmHg, Nadi 70 x/menit SpO2 98%
- Lima menit IV : 140/80 mmHg, Nadi 70 x/menit, SpO2 98%
- Lima menit V : 135/80 mmHg, Nadi 72 x/menit SpO2 100%
- Lima menit VI : 130/77 mmHg, Nadi 74 x/menit SpO2 100%
- Lima menit VII : 132/84 mmHg, Nadi 72 x/menit SpO2 99%
- Lima menit VIII : 130/81 mmHg, Nadi 74 x/menit, SpO2 99%
- Lima menit IX : 132/70 mmHg, Nadi 77 x/menit SpO2 99%
- Lima menit X : 137/81 mmHg, Nadi 79 x/menit SpO2 99%
- Lima menit XI : 130/77 mmHg, Nadi 72 x/menit SpO2 99%
- Lima menit XII : 130/83 mmHg, Nadi 74 x/menit, SpO2 99%
- Lima menit XIII : 130/80 mmhg, Nadi 70 x/menit, SpO2 100 %
- Lima menit XIV : 130/80 mmhg, Nadi 70 x/menit, SPO2 100 %
- Lima menit XV : 130/80 mmhg, Nadi 70 x/menit,SPO2 100 %
b. Respirasi Rate 16 – 20 x / menit
c. Terpasang oksigen nasal 3 lpm
d. Jumlah urine dalam uriene bag 200 cc
e. Perdarahan selama operasi ± 750 cc
f. Pasien tidak tampak hipoksia
g. Pembedahan dilakukan selama 80 menit dengan TURP – Lytotripsi.
h. Perfusi jaringan baik
i. Tidak tampak sesak
j. Tidak tampak tanda – tanda hipovolemia
k. Terpasang IVFD, RL 1500 ml, HES 500 ml.
e. Analisa Data
No | Data | Etiologi | Problem |
1 | DS : - DO : - pembedahan dilakukan selama 80 menit dengan anestesi spinal - Tekanan darah tidak setabil - Urine 200 cc - Perfusi jaringan baik | Dilakukan prosedur anestesi spinal | Resiko terjadinya Syok Hipovolemik |
2 | DS : - DO : - dilakukan anestesi spinal. - diberikan Bufivacaine 0,5 % - Tekanan darah tidak setabil - SpO2 99 – 100 % - RR 16 – 20 x / menit | Efek dari anestesi spinal | Resiko terjadinya gangguan pola nafas |
3 | DS : - DO : - Pasien dilakukan injeksi spinal | Prosedur invasive Anestesi | Resiko infeksi |
2. Diagnose Keperawatan
Diagnosa keperawatan intra operatif yang muncul pada tanggal 20 April 2010 :
1. Resiko terjadinya syok kardiogenik, hipovolemik berhubungan dengan prosedur anestesi spinal.
2. Resikol terjadinya gangguan pola nafas berhubungan dengan efek dari anestesi spinal.
3. Resiko infeksi berhubungan dengan prosedur Invasif anestesi
C. Asuhan Keperawatan Post Operatif pada Tn. T dengan BPH Pro TURP
1. Pengkajian
Tn. T dipindahkan dari ruang operasi ke RR jam 12.00 WIB.
a. Pengkajian keperawatan pada jam 12.00 WIB
1) Status Sirkulasi
TD : 130/80 mmHg
Nadi : 74 x /menit
Respirasi : 16 /menit
Tidak tampak adanya sianosis, turgor baik, akral terasa hangat.
2) Status Respirasi
RR 16 x/menit teratur tidak ada sesak, perjalanan pasien sejak dari kamar operasi ke ruang RR tidak menggunakan oksigen, kepala pasien hanya diberi bantal dan pasien mengatakan tidak sesak.
3) Status neurologis
Pasien masih belum bisa menggerakan ektrimitas bawah, dan pasien mengatakan kedua kakinya masih terasa berat.
4) Instruksi Pasca Operasi
- Bedrest total 24 jam, tidur pakai bantal.
- Berikan Oksigen 2 lpm
- Observasi tanda vital tiap 5 menit pada 15 menit pertama post operasi, selanjutnya tiap 15 menit.
- Bila TD Sistol < 100 mmHg, berikan vasopressor (ephedrin) 10 mg IV.
- Miringkan kepala bila muntah dan suction.
5) Bromage Score
0 : seluruh tungkai kaki dapat digerakan
1 : tidak mampu mengekstensi tungkai
2 : tidak mampu memfleksi lutut
3 : tidak mampu memfleksi pergelangan kaki
b. Analisa Data
No | Data | Etiologi | Problem |
1 | DS : - Pasien mengatakan kedua tungkai tidak bisa digerakan dan terasa berat. DO : - Bromage skor 3 - Tungkai tidak bisa digerakan | Efek dari obat spinal anestesi | Gangguan rasa nyaman |
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan yang mumcul pada post operasi pada tanggal 11 MEI 2010 adalah :
Gangguan rasa nyaman sehubungan dengan efek obat anestesi spinal yang masih belum hilang.
Mengetahui , Praktikan
Pembimbing Lapangan : ...................... ( YANUAR SISWANTO)
Pembimbing Pendidikan : ......................